Entri Populer

Kamis, 10 Januari 2013

pelajaran para komporiyyun (termasuk saya, insyaAllah setelahnya berusaha untuk tidak mengompori lagi, bagi yang ingin dan yang akan menikah semoga Allahu Ta'ala mudahkan dan melancarkan... )

jadi ingat statusnya Ammi Ahmad Alawi Aac ,
afwan saya copaskan disini untuk diambil
pelajaran para komporiyyun (termasuk saya,
insyaAllah setelahnya berusaha untuk tidak
mengompori lagi, bagi yang ingin dan yang
akan menikah semoga Allahu Ta'ala
mudahkan dan melancarkan... )
# Apabila kita cermati, ternyata para
"Komporiyyun" itu tidak lepas dari kondisi-
kondisi berikut:
1. Mereka terlalu menggampangkan urusan
pernikahan. Memang, Islam mengajarkan
pernikahan yang mudah, tapi bukan untuk
dimudah-mudahkan. Mereka mengqiyaskan
segala aspek kemudahan di zaman Shahabat
dengan aspek menikah zaman sekarang.
Padahal, tentu saja keduanya sangat jauh
berbeda. Tidak setiap kemudahan yang ada
pada masa Shahabat, lantas bisa dengan
mudah begitu saja diterapkan pada masa
sekarang. Banyak perkara yang tidak ada
pada masa dulu telah muncul di masa
sekarang, yang bisa menghilangkan
beberapa aspek kemudahan di masa dulu.
Alhashil, mengqiyaskan segala warna
kemudahan pada masa dulu dengan masa
sekarang adalah qiyas ma'al faariq.
2. Mereka acapkali menjadikan diri mereka
sendiri sebagai standar, tolok ukur, serta
"suri tauladan" dalam hal kemudahan
menikah. Sehingga, kerap pula mereka
menceritakan segala kisah kasih mereka
yang penuh romantika rumahtangga. Seolah
mereka ingin berkata kepada para 'uzzaab
(lajangiyyun): "Lihatlah kami. Kalau kami
sudah bisa menikah, harusnya kamu juga
bisa....."
Padahal, setiap orang memiliki latarbelakang
hidup masing-masing. Setiap jiwa menjalani
taqdir yang berbeda. Setiap pribadi
mendapat jatah rezeki yang tidak sama.
Termasuk dalam hal jodoh: waktunya,
caranya, kualitasnya, dll. Ada yang cepat,
ada yang lambat. Ada yang mudah, ada yang
sulit. Maka menjadikan diri siapapun sebagai
standarisasi kemudahan adalah tidak pada
tempatnya.
3. Mereka memandang problematika
"menikah" dari cakrawala yang tidak luas
dan tidak utuh. Seringnya mereka kaitkan
problem menikah dengan unsur materi/
ekonomi saja. Padahal, faktor penghalang
menikah itu bukan melulu soal kemampuan
finansial. Tapi ada banyak yang lain. Dari
sekian banyak kasus yang pernah orang
"curhatkan" ke saya, ternyata mayoritasnya
justru bukan karena faktor ekonomi. Tapi
ada banyak kendala lain yang butuh
pemecahan. Faktor ekonomi juga banyak.
Tapi bukan satu-satunya. Maka, alangkah
baiknya para komporiyyun itu "terjun"
secara langsung ke lapangan. Membantu
problem yang tengah dihadapi saudaranya
yang belum menikah. Jangan hanya berdiri
di luar pagar, meniup-niup bara hingga
menjadi api yang bergejolak. Supaya mereka
tahu, bahwa faktor penghalang menikah di
masa kini cukup kompleks. Menikah itu tidak
semudah membalik "telapak kaki". Adapun,
dulunya mereka kok bisa menikah dengan
mudah; maka sekali lagi, diri mereka
bukanlah standar dan tolak ukur bagi orang
lain. Dirimu adalah dirimu, bukan dirinya.
Masalahmu adalah masalahmu, bukan
masalahnya.
4. Mereka gemar mengistilahkan "kompor
menikah" tersebut dengan "nasihat orangtua
yang bijak". Padahal orang yang bijak tentu
bisa menilai mana kompor dan mana
nasihat. Nasihat itu adalah perkara syar'i.
Ada ciri khasnya. Ada tata caranya. Ada
tujuannya. Ada nilai syar'inya. Sedangkan,
apa yang mereka torehkan dalam "kompor-
kompor" mereka itu tidak cukup memenuhi
syarat nasihat yang bijak. Melainkan hanya
sekedar lelucon-lelucon jenaka yang
merefleksikan kebanggaan karena sudah
berhasil menikah muda (bahkan telah
ta'addud).
5. Mereka menganggap bahwa "kompor
nasihat bijak" tentang menikah itu begitu
utama, hingga begitu sering, sangat sering,
mereka menyalakan kompor bab menikah
yang membakar darah anak-anak muda.
Padahal, menikah itu persoalan fithrah.
Tanpa dikomporin pun, orang yang normal
tentu sudah berpikir ke arah pernikahan.
Kalau segalanya dirasa sudah siap, tanpa
dikomporin pun dia akan segera mengatur
segala sesuatunya untuk menuju jenjang
pelaminan.
Kalau seandainya tema-tema "kompor
pernikahan" adalah sangat utama, tentulah
para asatidzah kibar yang memiliki akun FB
akan berlomba-lomba menulisnya. Tapi
nyatanya para asatidzah tersebut hampir
tidak ditemui update status kompor.
Bahkan, status beliau-beliau itu sederhana,
bersahaja, teduh dan sejuk. Bukan panas
layaknya kompor. Kalaupun beliau-beliau
membahas pernikahan, pembahasannya
penuh etika, santun, dan sewajarnya. Bukan
dengan kompor, pamer kemesraan, apalagi
celaan.
Masih banyak tema lain yang bisa kita
angkat. Tema aqidah, fiqih, akhlaq,
mu'amalah, tentu akan lebih bermanfaat
dibahas dalam status; daripada status
kompor yang bisa jadi madharatnya lebih
besar dari mashlahatnya.
'Ala kulli haal, kembali mengingatkan:
"Kalau bisa membantu maka bantulah. Kalau
tidak, lebih baik diamlah. Jika tidak bisa
menolong masalahnya, minimal jangan
menambah bebannya".
Saya sadar, status ini bisa jadi akan
mengundang kontroversi. Yang mau kontra,
kontralah dengan cara yang terhormat
dengan tetap menjaga muru'ah serta
ukhuwwah fillah wa lillah. Kita boleh
berselisih paham, tapi persatuan aqidah dan
manhaj kita yang paling utama. Sebagai
muslim yang baik, kita berusaha mengambil
yang terbaik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar